4Life Transfer Factor

http://app.talkfusion.com/fusion2/player5/tfshare.asp?HGGEID-GEDIHGI-647r-647r

Selasa, 22 Februari 2011

Zinc Within 24 Hours of Symptom Onset May Be Helpful for Common Cold

February 18, 2011 — When given within 24 hours of onset of symptoms, zinc reduces the duration and severity of the common cold in healthy people, according to the results of a Cochrane systematic review reported online February 16 in the Cochrane Database of Systematic Reviews.
Zinc supplements
"This review strengthens the evidence for zinc as a treatment for the common cold," said lead author Dr. Meenu Singh, from the Post Graduate Institute of Medical Education and Research in Chandigarh, India, in a news release. "However, at the moment, it is still difficult to make a general recommendation, because we do not know very much about the optimum dose, formulation or length of treatment."
To evaluate the effect of zinc on common cold symptoms, the reviewers searched CENTRAL (2010, Issue 2), which contains the Acute Respiratory Infections Group's Specialised Register, MEDLINE (1966 to May week 3, 2010), and EMBASE (1974 to June 2010). Inclusion criteria were randomized, double-blind, placebo-controlled trials in which zinc was used for 5 or more consecutive days to treat the common cold, or for 5 or months or longer for prevention. Data were independently extracted and trial quality examined by 2 reviewers.
The search identified 13 therapeutic trials enrolling a total of 966 participants, and 2 preventive trials enrolling a total of 394 participants, that met selection criteria. Zinc intake was associated with a significant decrease in duration of common cold symptoms (standardized mean difference [SMD], −0.97; 95% confidence interval [CI], −1.56 to −0.38; P = .001), as well as in severity (SMD, −0.39; 95% CI, −0.77 to −0.02; P = .04).
The proportion of participants symptomatic after 7 days of treatment was lower in the zinc group vs the control group (odds ratio [OR], 0.45; 95% CI, 0.2 - 1.00; P = .05). The zinc group also fared better than the control group in incidence rate ratio (IRR) for development of a cold (IRR, 0.64; 95% CI, 0.47 - 0.88; P = .006), school absence (P = .0003), and prescription of antibiotics (P < .00001).
However, overall adverse events were higher in the zinc group (OR, 1.59; 95% CI, 0.97 - 2.58; P = .06), as were bad taste (OR, 2.64; 95% CI, 1.91 - 3.64; P < .00001) and nausea (OR, 2.15; 95% CI, 1.44 - 3.23; P = .002).
"Our review only looked at zinc supplementation in healthy people," Dr. Singh said. "But it would be interesting to find out whether zinc supplementation could help asthmatics, whose asthma symptoms tend to get worse when they catch a cold."
Limitations of this review also include those inherent in the individual studies, such as placebo-blinding adequately described in only 6 trials, and allocation concealment unclear in 5 studies.
"[U]nlike trials relying on experimentally-induced rhinoviral colds, findings from large community-based trials will address issues relating to the diversity of and generalisability to the common cold," the review authors conclude. "In addition, given its toxicological profile, the potential for zinc to induce adverse effects at the doses participants are required to take also needs to be determined."

Rabu, 16 Februari 2011

TRAUMA VACULER

Pembedahan vaskuler berkembang maju dengan adanya perang terutama PD II,walau waktu itu kurang memuaskan. Pd perang korea ketiga dokter AS dikirim khusus untuk mengangani trauma vaskuler sbgi bgian dari apa yg disebut “Battle Injury”.
Beberapa abad silam penanganan thdp pendarahan akibat adax trauma vaskuler hya berupa pengikatan pembuluh darah (ligasi). Thn 1759,Hallowel berhasil malakukan penjahitan arteri brachialis yg robek (dgn slick). Sama dgn cabang2 ilmu kedokteran lainnya, ilmu bedah vascular berkembang seirama dgn perkembangan zaman dimana dulunya rekenstruksi vaskuler terbatas ligasi atau penjahitan sederhana bagian pembuluh yg robek, sekarang ini para pakar ilmu bedah vascular berupaya mencari, meneliti penggunaan “graft” yg komplikasinya minimal.
Insidens trauma vaskuler tdk banyak dibicarakan dlm kepustakaan, yg pasti meningkat dlm situasi perang. Di As, rekonstruksi vaskuler merupakan sepertiga dari semua rekonstruksi vaskuler yg dekerjakan.
Mercer membagi pembedahan vascular dalam 4 grup, Yaitu:
ü      Meliputi jantung dan pembuluh darah dlm thorax ditangani o/ Ahli Bedah Kardio-torasis.
ü      Pembuluh darah cerebral ditangani o/ Ahli Bedah Saraf.
ü      Pembuluh darah dlm abdomen & ekstremitas ditangani o/ Ahli Bedah Vaskuler.
ü      Mikrovaskuler ditangani o/ Ahli Bedah Plastik.
ü
FISIO-ANATOMI VASCULER
Membicarakan penanganan trauma vascular tentu tdk terlepas dr pengetahuan ttg anatomi, fisiologi, mekanisme trauma, patogenesis & cara menegakkan diagnosa. Vascular berarti pembuluh darah yaitu arteri dan vena. Dlm tulisan ini yg banyak dibicarakan adalah trauma arteri mengingat trauma arteri jauh lebih sulit dibanding trauma pada vena.
Secara anatomis pembuluh darah dibagi menurut ukurannya: Besar, sedang, kecil dan bila ukuran lebih kecil dari 100 mikron disebut Arteriole atau venule. Sifat masing2 adalah makin besar ukuran arteri, relative makin besar ukuran elastisitasnya. Hal ini berhubungan dgn arteri ukuran besar yg mendapat beban menahan stress dan tekanan yg lebih tinggi. Sebaliknya makin kecil arteri, unsure otot polos dan collagen relative makin dominan, yg berhubungan dgn vasokonstrikrisi dan vasodilatasi arteri. Dalam hal vasokonstriksi selain factor myogenik jg o/ factor neurogenik (simpatik) dan farmakologik. Sedangkan vasodilatasi o/ factor neurogenik, farmakologik, dan metabolic. Berbeda dgn vena yg banyak tergantung pd volume dan tekanan darah. Vana mempunyai struktur yg berbeda dgn arteri dimana dindingnya lebih tipis, lumennya relative lebih luas dan sifat konstraksinya lebih kurang.
Sistem lain yg penting diketahui adalah system kolateral baik pd arteri maupun pd vena. Sistem kolateral vena jauh lebih banyak dibandingkan arteri. Sistem ini erat hubungannya dgn penentuan penanganan trauma vascular.
MEKANISME TRAUMA

Trauma vascular disebabkan o/ suatu kekerasan fisikk baik dalam bentuk trauma tajam, trauma tumpul dan trauma iatrogenik.
  1. Trauma tajam-luka tembak menyebabkan kerusakan pembuluh darah karena daya penetrasi dgn kecepatan tinggi, terlebih lagi bila dalam bentuk pecahan peluru. Luka tusuk benda-benda berujung tajam ataupun luka bacok akibat suatu kecelakaan ataupun perkelahian tidak jarang menyebabkan trauma vascular.
  2. Trauma tumpul-yg sering adalah akibat kecelakan lalu lintas. Benturan langsung, terjepit, bila menyertai suatu fraktur pembuluh darah dapat terjepit atau tertarik melampaui daya elastisitas pembuluh darah tersebut.
  3. Iatrogenik-intervensi arteriografi, kateterisasi jantung, kateterisasi transfemoral bahkan penyuntikan intravena dapat menimbulkan bencana pembuluh darah.
PATOGENESIS TRAUMA VASCULER.
Vaskuler yg mengalami trauma, konsekuensinya terjadi 3 type kerusakan, yaitu: Ruptur vascular komplet, rupture vaskuler inkomplet dan trauma vascular tertutup.
1.Ruptur vaskuler komplet
Ruptur vaskuler komplet umumnya disebabkan o/ luka bacok atau iris kadang disebabkan o/ luka tusuk atau trauma tumpul. Pd keadaan ini pembuluh darah putus total shga kedua ujung terpisah satu sama lain. Sifat khas pembuluh darah terutama arteri, sbgi bagian dari mekanisme pertahanan tubuh untuk menghentikan pendarahan yaitu konstriksi dan retraksi kedua ujung, serta pembentukan thrombus dan kompresi jaringan di sekitarnya. Manifestasi klinik yg timbul merupakan akibat terhentinya aliran darah ke distal seperti hilangnya pulsasi arteri bgian distal dan iskemi jaringan.
2. Ruptur vascular inkomplet
Ruptur vaskuler inkomlet banyak disebabkan o/ luka tusuk, luka tembak. Patah tulang dapat menyebabkan trauma vaskuler macam ini. Segera setelah trauma, terjadi perdarahan, terbentuk hemaoma, sedangkan bagian pembuluh darah yang rupture mengalami retraksi dan konstriksi terbatas. Peristiwa ini justru memperbesar defe, sehingga perdarahan sulit u/ berhenti. Manifestasi klinik berupa hematoma dgn perdarahan yg sukar berhenti. Pulsasi bagian distal tidak menghilang. Manifestasi lanjut berupa “false aneuryme” yaitu hematoma dengan pembentukan jaringan fibrous disekitarnya. Aneurysma palsu ini membesar secara progresif, dapat teraba fulsasi diatasnya. Bila trauma ini juga merobek vena di dekatnya akan terjadi fistula arterio-venosa dimana terjadi pengaliran darah dari arteri ke vena akibat adanya perbedaan tekanan intra luminal.
3. Trauma Vascular Tertutup
Trauma tumpul merupakan penyebab trauma vaskuler tertutup dimana pembuluh darah terjepit diantara dua frakmen tulang atau teregang. Akibat yang didapat terjadi pada pembuluh darah berupa trombosis intra luminal karena kerusakan lapisan intima yang robek ini menjadi klep sehingga menutup aliran  darah, hematoma subintima jg dapat menyebabkan obstruksi dan bila teregang timbul spasme. Manifestasi klinik adalah pulsasi arteri bagian distal berkurang sampai  hilang iskemia tanpa disertai perdarahan pada daerah trauma.
DIAGNOSA
Anamnesis tentang mekanisme trauma, macam trauma, arah dan waktu yg tepat sangat membantu diagnosa. Perdarahan, pulsasi arteri bagian distal dan adanya ischemia merupakan manifestasi klinik yg perlu diperhatikan. Fteeark menulis beberapa tanda atau gejala yg menggambarkan adanya trauma vascular terutama arteri yaitu:
1.Hilangnya atau berkurangnya pulsasi arteri bagian distal dari daerah trauma.
2.Kulit pucat, suhu pada perabaan  lebih dingin dibandingkan dengan sisi sehat.
3.Sensibilitas bagian distal berkurang.
4.Adanya riwayat perdarahan banyak pd daerah luka.
5.Adanya perdarahan rekuren dari luka.
6.adanya hematoma yang berpulsasi.
7.Adanya bising sistolis diatas hematoma.
8.Shok yang terjadi setelah mengalami trauma pada daerah pembuluh besar harus  dicurigai adanya trauma vascular.
Pemeriksaan tambahan yg penting adalah angiografi (arteriografi atau phlebografi) dan pemeriksaan dengan Ultrasonik doppler.
PENANGANAN

Penanganan trauma vascular dibagi atas penangan darurat yg ditujukan pada perdarahan definitive yg ditujukan langsung thdp pembuluh darah, apakah arteri atau vena.
1.Penganganan Darurat/P3K vascular
Secara umum penanganan bertujuan memperbaiki dan mempertahankan keadaan optimal pasien misalnya dengan memberikan cairan intravena dalam bentuk apapun bila ditemukan tanda-tanda shock. Secara khusus penanganan darurat ditujukan kepada membatasi atau menghentikan perdarahan dari luka. Cara-cara sederhana yg dapat dikerjakan bila ada perlukaaan dengan perdarahan (P3K Vasculer).
ü      Elevasi.  Mengangkat bagian yang mengalami trauma lebih tinggi dari pada posisi jantung dapat membantu mengurangi atau menghentikan perdarahan vena.
ü      Penekanan langsung. Penekanan ini dikerjakan selama lima menit.
ü      “Pressure points”.  Adalah tempat penekanan pada arteri yang dapat menghambat pengaliran darah ke bagian distal misalnya untuk arteri carotis pada processus C-5, arteri subclavia pada tulang iga-1, arteri brachialis pada pertengahan tulang humerus dan arteri femoralis pada daerah inguinal.
ü      Hemostats.  Menggnakan bahan hemostats local atau melakukan krus pembuluh darah. Dalam melakukan krus harus membersihkan dan melihat langsung pembuluh darah yang dikrus (tidak boleh “blind”), dapat merusak jarinagna lain misalnya nervus.
ü      Tampon (“packing”) bila cara diatas tidak dapat mengatasi perdarahan terutama pembuluh darah yg letaknya dalam digunakan kain kasa atau verban steril dimasukkan ke dalam luka dalam jumlah secukupnya.
ü      Penjahitan temporer.  Penjahitan temporer dikerjakan pada daerah wajah u/ mencegah penarikan jaringan.
ü      Tornikuet.  Penggunaan tornikuet dalam P3K u/ menghentikan perdarahan sering dilakukan o/ dokter, paramedic, dan awam. Sangat perlu diingatkan bahwa penggunaan tornikuet mempunyai resiko bukan hanya menambah perdarahan juga menyebabkan ischemia bagin distal. Beberapa cara dan indikasi pemasangan tornikuet :
  • Tornikuet dipasang dgn tekanan diatas tekanan sistol. Tekanan dibawah sistol akan memperhebat perdarahan  venous.
  • Waktu pemasangan harus dicatat, diawasi dan tekanan diturunkan sampai nol setiap 15 menit u/ mencegah iskhemi melalui kolateral.
  • Tornikuet dipasang bila cara-cara diatas gagal menghentikan perdarahan-perdarahan mengancam hidup penderita dan vitalitas bagian distal tak diharapkan lagi.
  • Pada trauma tertutup terlihat hematoma dgn cepat
2. Penanganan Definitif.
Tempat penanganan adalah puskesmas atau rumah sakit dgn fasilitas yg lengkap (tergantung fasilitas dan interfensi bedah yg harus dikerjakan).
  • Arteri. Macam tindakan yg dikerjakan tergantung pd bentuk kerusakan dan lokasi kerusakan, dapat berupa ligasi atau penjahitan atau graft atau trombektomi.
1.Ruptur komplet.  Ligasi dapat saja dikerjakan bila sirkulasi kolateral cukup. Bila sirkulasi kolateral tidak atau meragukan maka penyambungan atau penggunaan graft merupakan pilihan. Ligasi dapat dikerjakan pada : arteri radialis atau ulnaris, arteri tibialis anterior atau posterior, arteri femoralis profunda, aretri iliaca interna. Ganggren distal dapat terjadi bila ligasi dikerjakan pada arteri aksilaris, arteri brachialis, arteri femoralis proksimal percabangan dan arteri poplitea. Penyambungan arteri dikerjakan bila disebabkan o/ trauma tajam tanpa kehilangan jaringan pembuluh darah. Bila kehilangan sebagian jaringan pembuluh darah atau sengaja dibuang karena rusak maka “grafting” merupakan pilihan. Donor biasanya diambil dari vena, seperti v.Saphena magna. Pengguanaan graft dari vena haruns dipasang terbalik mengingat dalam vena tungkai terdapat klep.
2.Ruptur inkomlet. Bentuk robekan dapat linier, oblik atau transversal, satu sisi atau dua sisi. Pada oblik dan transversal langsung dijahit sedangkan pada linier terlebih dua sisi, sebaiknya dengan “patch graft” u/ mencegah penyempitan lumen.
3.Trauma arteri tertutup.  Pada Keadaan ini penentuan panjang kerusakan perlu karena tindakan terbaik adalah reseksi, kemuadian dipasang graft.
  • Vena. Dinding vena jauh lebih tipis daripada arteri, factor-faktor pembekuan darah vena lebih kurang disbanding arteri sehingga perdarahan dari vena lebih sulit dikontrol dibandingkan dari arteri. Kelebihan vena adalah mempunyai kolaterale lebih banyak. Tindakan yang dikerjakan u/ trauma vena adalah ligasi atau penjahitan atau penyambungan pd vena tetentu. Ligasi sebaiknya dihindarkan pada vena femoralis komunis dan vena poplitea, disamping vena-vena besar intra abdominal dan intra torakal.
  • Fistula arteriovenosa. Keadaan ini merupakan komplikasi dari rupture inkomplet arteri dan vena letaknya berdekatan dimana terjadi pengaliran sebagian darah arteri ke dalam vena. Sebelum tindakan perlu menentukan apakah lesi pembuluh darah ini dijahit atau diligasi. Setelah itu arteri dan vena ditangani masing-masing sesuai dijelaskan sebelumnya.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengerajakan pembedahan trauma vascukar:
  • Pembedahan sebaiknya dikerjakan dalam 4 jam pertama, untuk membtasi komplikasi bagian distal. Makin lama dikerjakan makin bertambah luas iskhemi dan keberhasilan kerja makin berkurang.
  • Resusitasi kardiovaskuler dan pernapasan.
  • Perlu diberikan antibiotika dan antitetanus.
  • Persiapan preoperative.
  • Melokalisasi darah vascular yg cedera.
  • Insisi searah dengan pembuluh darah, dilanjutkan dengan eksplorasi bagian proksimal u/ control perdarahan ( dengan klem khusus).
  • Eksplorasi bagian distal u/ control perdarahan balik.
  • Bebaskan pembuluh darah dari hematoma, kemudian menilai serta menentukan tindakan.
  • Pada trauma vasculer tertutup dengan trombose, dikerjakan reseksi kemuadian disambung. Bentuk insisi oblik, dianjurkan menggunakan heparin ke distal 2000-3000 unit (diencerkan dgn NaCl 20-3- ml ) dan ke proksimal 500-1000 unit dalam lima sampai sepuluh ml. Dgn graft atau tanpa graft sambungan dijahit dgn benag monofilament (polyetylen) 0-5 atau 0-6. Pada rupture komplet ujung0ujung dieksisi secara oblik kemudian dibebaskan dari bekuan darah. Penyambungn sana dgn cara diatas. Demian pula pada rupture inkomplit. Penggunaan papaverin atauprocain intra luminal ke distal memberikan vasodilatasi. Baroek melaporkan hasil penanganan trauma vascular di Surabaya dari 25 kasus : amputasi satu kasus, meninggal 3 kasus, dan pulang paksa 5 kasus. Penjahitan cara kontinuos dgn tepi jahitan keuar.
  • Selesai penyambungan  klem distal dilepaskan, kemudian proksimal. Maksudnya bila ada udara dalam pembuluh darah akan terdorong balik dan keluar dari jahitan, demikian dengan bagian proksimal.
  • Debrideman luka, re-eksplorasi/evaluasi kembali, dipasang drain dan luka ditutup tanpa adanya ketegangan jaringan. Pengguanaan verban melingkar dihindarkan.
  • Imobilisasi organ yg mengalami trauma.
PERAWATAN POST OPERASI
Pengawasan vitalitas bagian distal tiap jam. Bila pulsasi distal tidak ada atau tidak adekuat perlu segera arteriografi.Mungkin perlu rekonstruksi kembali. Pemberian obat-obat vasodilator dapat meberikan hasil. Mobilisasi sebaiknya setelah satu minggu. Drain dicabut setelah 3 hari bila tidak ada cairan keluar.
PROGNOSA

Beberapa factor yang turut menentukan kehberhasilan pembedahan vaskuler yaitu :
a)      Waktu antra kejadian sampai waktu melakukan pembedahan.
b)      Macam pem,buluh darah yang mengalami trauma.
c)      Bentuk kerusakan pembuluh darah.
d)      Fasilitas rumah sakit.
e)      Keadaan umum penderita.
f)       Ada tidaknya infeksi pasca bedah.

Wakakakak.com

Ditilang Pak Polisi

admin 11 February 2011 No Comment
Gw pnya tetangga namana Kosim, dia punya hobi berburu burung,
nah pada suatu hari kosim berangkat untuk berburu,
berhubung agak jauh Kosim berangkat degan mngendarai sepeda motor,
ketika di tengah perjalanan Kosim bertemu sama Pak Polisi,
kemudian polisi itu menyuruh Kosim berhenti.
Pak Polisi bertanya, “Mana Sim?”
Kosim menjawab “Cari burung Pak!”
Polisi bertanya lagi “Mana Sim?”
Kosim: “Cari burung pak.!!”
Polisi: “Mana Siiim…”
Kosim: “Cari burung paaak..!!”
Polisi: “Kutilang kau!”
Kosim: “Perkutut pak..!!”

Nakak.com

Kecelakaan Pesawat


Ada tiga cewek (cewek Amerika,
Eropa dan Afrika) naik pesawat terbang.
Ditengah perjalanan pesawat
oleng dan sepertinya akan jatuh.
Tiba-tiba cewek Amerika ambil bedak
dan berdandan cantik sekali. Temannya
disebelah bingung dan bertanya kenapa koq
dandan??
Cewek Amerika menjawab :
“Biasanya kalau pesawat jatuh yang
ditolong pertama kan yang paling cantik.”
Cewek Eropa tiba-tiba mengangkat
roknya tinggi-tinggi. Teman di sebelahnya
penasaran: “Kenapa dkok diangkat rok sampai
tinggi?”
Cewek Eropa menjawab: “Biasanya kalau
pesawat jatuh yang pertama ditolong
kan yang pahanya mulus putih”
Cewek Afrika gak mau ketinggalan, dia membuka baju dan
telanjang bulat.
Kedua temannya kaget dan bertanya: “Loh kok malah telanjang??”
Cewek Afrika pun menjawab: “Biasanya
kalo pesawat jatuh yang paling dicari adalah
KOTAK HITAM!”

Waktunya Ngakak

Nyonya vs Pembantu


Pembantu : ” Nyah, saya mau minta naik gaji… ”
Nyonya : ” Kenapa saya harus naikkan gaji kamu??”
Pembantu : ” Ada 3 alasan Nyah. Pertama… saya membersihkan rumah lebih bersih daripada Nyonyah.”
Nyonya : ” Siapa bilang?”
Pembantu : ” Tuan yang bilang.”
Nyonya : ” Oh??” ( sambil menahan marah)
Pembantu : ” Kedua, saya masak lebih enak daripada Nyonyah.”
Nyonya : ” Siapa yang bilang??”
Pembantu : ” Tuan yang bilang.”
Nyonya : ” Oh gitu?!? ” ( grrrrrrr..)
Pembantu : ” Ketiga, saya di ranjang lebih hebat dari Nyonyah!”
Nyonya : ” Oh?!! Apa tuan juga yang bilang??”
Pembantu : ” Bukan Nyah. Tuan sebelah rumah yang bilang, Nyonyah kurang hebat di ranjang!”
Nyonya : ” Pssstttt, kamu minta naik berapa??”

Ngakak.com

Tentang Cowok Ganteng...


Kalo cowok ganteng pendiam
cewek2 bilang: woow, cool banget…
kalo cowok jelek pendiam
cewek2 bilang: ih kuper…
kalo cowok ganteng jomblo
cewek2 bilang: pasti dia perfeksionis
kalo cowok jelek jomblo
cewek2 bilang: udah jelas…kagak laku…
kalo cowok ganteng berbuat jahat
cewek2 bilang: nobody’s perfect
kalo cowok jelek berbuat jahat
cewek2 bilang: pantes…tampangnya kriminal
kalo cowok ganteng nolongin cewe yang
diganggu preman
cewek2 bilang: wuih jantan…kayak di filem2
kalo cowok jelek nolongin cewe yang
diganggu
preman
cewek2 bilang: pasti premannya temennya
dia…
kalo cowok ganteng dapet cewek cantik
cewek2 bilang: klop…serasi banget…
kalo cowok jelek dapet cewek cantik
cewek2 bilang: pasti main dukun…
kalo cowok ganteng ngaku indo
cewek2 bilang: emang mirip-mirip bule sih…
kalo cowok jelek ngaku indo
cewek2 bilang: pasti ibunya Jawa bapaknya
robot…
kalo cowok ganteng penyayang binatang
cewek2 bilang: perasaannya halus…penuh
cinta
kasih
kalo cowok jelek penyayang binatang
cewek2 bilang: sesama keluarga emang
harus
menyayangi…
kalo cowok ganteng bawa BMW
cewek2 bilang: matching…keren luar dalem
kalo cowok jelek bawa BMW
cewek2 bilang: mas majikannya mana?…
kalo cowok ganteng males difoto
cewek2 bilang: pasti takut fotonya kesebar-
sebar
kalo cowok jelek males difoto
cewek2 bilang: nggak tega ngeliat hasil
cetakannya
ya?…
kalo cowok ganteng naek motor gede
cewek2 bilang: wah kayak lorenzo
lamas…bikin
lemas…
kalo cowok jelek naek motor gede
cewek2 bilang: awas!! mandragade lewat…
kalo cowok ganteng nuangin air ke gelas
cewek
cewek2 bilang: ini baru cowok gentlemen
kalo cowok jelek nuangin air ke gelas cewek
cewek2 bilang: naluri pembantu, emang
gitu…
kalo cowok ganteng bersedih hati
cewek2 bilang: let me be your shoulder to cry
on
kalo cowok2 jelek bersedih hati
cewek2 bilang: cengeng amat!!…laki-laki
bukan
sih?
“ini khusus buat cewek2 yg slalu memandang seseorang dari luarnya….!!!

Waktunya Ngakak

Mbok Sum dan Pacarnya

Mbak sum brmaksud mutusin pacarnya robi (bule).
Akan tetapi dia tdk brani brtmu muka dgn kekasihnya. Mbak sum menulis surat dgn brbkal pengetahuan english yg pas2an. Berikut isi suratnya:
Hi robbi, together this letter I want to give know u
(hay robi brsma surat ini memberitahumu)
I Want to cut connection we
(sya brmaksud memutuskan hub kita)
I have think things very cook cook
(sya sdh pikirkan masak2)
I know my love only clap half hand
(sya tau hnya brtepuk sblh tangan)
Correctly I have see u go with a women entertainment at town with my eyes head alone
(sbnrnya sya tlah liat kmu prgi dgn wanita penghibur di kota dgn mata kpala sya sndiri)
U always ask sorry back back river
(kau slalu meminta maaf brulang2 kali)
U eyes drop tears crocodile
(matamu mencucurkan air mata buaya)
U correct correct a man crocodile land
(kau bnr2 lelaki buaya darat)
So I cut connection and pull body from love triangle this
(jadi, sya putuskan hub ini dan menarik diri dr cinta segitiga ini
I have been crying night2 until no more eye water thingking about ur body
(sya mnangis brmalam2 sampai tdk ada lg air mata memikirkan dirimu
I don’t want to sick my liver for 2 river
(sya tdk mau sakit hati utk kedua kalinya)
Safe walk robi
(slamat jalan robi)
Girl friend of ur liver
(kekasih hatimu)
sumiati lion on the table
(Sumiati singodimejo)

Adult Immunization Schedule for 2011 Released

February 3, 2011 — In October 2010, the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) approved the Adult Immunization Schedule for 2011, which includes several changes.
A woman receives a vaccine at her primary care provider's office.
The 2011 schedule, which reflects current recommendations for the licensed vaccines, is published in the February 1 issue of the Annals of Internal Medicine. The 2011 schedule was also approved by the American Academy of Family Physicians, American College of Obstetricians and Gynecologists, and the American College of Physicians.
"The notation for seasonal influenza vaccine in the figure and footnotes was changed to reflect the expanded recommendation for annual influenza vaccination for everyone 6 months of age or older, which was approved by ACIP in February 2010," write Abigail Shefer, MD, Immunization Services Division, National Center for Immunization and Respiratory Diseases, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Atlanta, Georgia, and colleagues. "In October 2010, ACIP issued a permissive recommendation for use of the tetanus, diphtheria, pertussis (Tdap) vaccine in adults aged 65 years or older; approved the recommendation that Tdap can be administered regardless of how much time has elapsed since the last tetanus and diphtheria (Td)–containing vaccine; and approved a recommendation for a 2-dose series of meningococcal vaccine in adults with certain high-risk medical conditions. The vaccines listed in the Figure have been reordered to keep all universally recommended vaccines together (for example, influenza, Td/Tdap, varicella, human papillomavirus [HPV], and zoster)."
Other changes include clarifications to the footnotes for the measles, mumps, rubella; HPV; and Haemophilus influenza type B (Hib) vaccines and for revaccination with pneumococcal polysaccharide (PPSV). A vaccine series does not need to be restarted, regardless of the time elapsed between doses.
Specific Updated Changes
Specific changes in the schedule for 2011 include the following:
  • All persons at least 6 months old, including all adults, should be vaccinated against seasonal influenza. Adults at least 65 years old may receive the high-dose influenza vaccine (Fluzone; sanofi-pasteur, Swiftwater, Pennsylvania), licensed in 2010 for use in this age group, as an option.
  • Persons at least 65 years old in close contact with an infant younger than 12 months should receive Tdap vaccine, and all persons at least 65 years old may receive Tdap vaccine. Tdap should be administered regardless of time elapsed since receiving the last Td-containing vaccine.
  • Either quadrivalent human papillomavirus (HPV4) vaccine or bivalent (HPV2) vaccine is recommended for girls and women.
  • For revaccination with PPSV, 1-time revaccination after 5 years applies only to persons 19 through 64 years old with indicated chronic conditions, namely chronic renal failure or the nephrotic syndrome, functional or anatomic asplenia, or immunocompromising conditions.
  • For adults with anatomic or functional asplenia or persistent complement component deficiencies and adults with HIV infection who are vaccinated with meningococcal conjugate vaccine (MCV4), a 2-dose series of meningococcal vaccine is recommended, with the 2 doses given 2 months apart. For those with other indications, a single dose of meningococcal vaccine is still recommended. Information in the new schedule clarifies that MCV4 is a quadrivalent vaccine.
  • Information regarding the Hib vaccine clarifies which high-risk persons may receive 1 dose of Hib vaccine, namely persons who have sickle cell disease, leukemia, or HIV infection, or those who have had a splenectomy, if they have not previously received Hib vaccine.
Additional Schedule Highlights
Additional highlights of the Adult Immunization Schedule include the following:
  • Adults younger than 65 years whose previous Td status is unknown should receive 1 dose of Tdap. Tdap should be administered immediately to postpartum women, close contacts of infants younger than 12 months, and healthcare workers.
  • Girls 11 to 12 years old should receive HPV4 or HPV2. Catch-up vaccination in girls may be given until age 26 years. Boys and men 9 to 26 years old may be given HPV4 to lower their risk of acquiring genital warts.
  • All persons at least 60 years old should receive a single dose of vaccine against herpes zoster, regardless of whether personal history is positive for herpes zoster.
  • Recommendations for varicella vaccination are unchanged. Two vaccine doses at least 4 weeks apart should be given to all adults born during or after 1980 who have no evidence of immunity to varicella. Healthcare workers should not be considered to have immunity against varicella simply because of their age. Pregnant women should be evaluated for evidence of varicella immunity, and those lacking such evidence should receive the first dose of varicella vaccine on completion or termination of pregnancy and before discharge from the healthcare facility. The second dose should be given 4 to 8 weeks after the first dose.
  • Hepatitis A vaccination should be given to anyone seeking protection from hepatitis A virus (HAV) infection, men who have sex with men, users of injection drugs, persons working with HAV-infected primates or with HAV in a research laboratory setting, persons with chronic liver disease and persons who receive clotting factor concentrates, and persons traveling to or working in countries with high or intermediate endemicity of hepatitis A.
  • Hepatitis B vaccination should be given to anyone seeking protection from hepatitis B virus (HBV) infection, persons with more than 1 sex partner during the previous 6 months, persons seeking evaluation or treatment of a sexually transmitted disease, current or recent injection-drug users, men who have sex with men, healthcare personnel and public safety workers exposed to blood or other potentially infectious body fluids, persons with end-stage renal disease, persons with HIV infection, persons with chronic liver disease, household contacts and sex partners of persons with chronic HBV infection, clients and staff members of institutions for persons with developmental disabilities, and international travelers to countries with a high or intermediate prevalence of chronic HBV infection.
Some of the ACIP members have disclosed various financial relationships with CDC, sanofi-pasteur, Novartis, Medimmune, ADMA, the National Institutes of Health, Bill & Melinda Gates Foundation, Exxon Mobil Research Club, Protein Sciences, Pfizer, Schering-Plough, Medical Education Speakers' Network, National Foundation for Infectious Diseases, Rady Children's Hospital San Diego, Phoenix Children's Hospital, Symposia Medicus, and/or CDC.

NSAIDs May Worsen Pneumonia Outcomes

NEW YORK (Reuters Health) February 11, 2011 — The antipyretic and analgesic benefits of nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) early in the course of a severe lower respiratory tract infection might be outweighed by some major disadvantages, French researchers say.
The possible costs? Delayed diagnosis of community-acquired pneumonia and more frequent complications.
In their pilot study, Dr. Muriel Fartoukh and colleagues observed that NSAID-treated patients with community-acquired pneumonia were five times as likely to develop pleural empyema or lung cavitation compared with patients not receiving NSAIDs. NSAIDs were also associated with double the risk of bacteremia, the authors report in the February issue of Chest.
The study took place at the authors' institution, Tenon Hospital in Paris, between 2002 and 2006. The 90 consecutive patients were admitted to the intensive care unit or its affiliated step-down unit. Patients with other severe diseases or who were on long-term NSAID or steroid therapy were excluded.
Thirty-two patients (36%) had been taking NSAIDs either alone (n = 18) or with antibiotics (n = 14) for an average of 5 days prior to referral. Sixteen patients not given NSAIDs had antibiotics prior to admission.
The report shows that patients in the NSAID group tended to have lower severity of disease upon admission, based on lower Simplified Acute Physiologic Score (SAPS) II and Sepsis-related Organ Failure Assessment (SOFA) score. However, they had a higher prevalence of chest pain and pleural syndrome, as well as multilobar infiltrates and pleural effusions on X-rays.
The cause of pneumonia was documented for three-quarters of patients. Most cases were due to Streptococcus pneumoniae, followed by Legionella and Pseudomonas aeruginosa. Four cases were polymicrobial.
Dr. Fartoukh's team notes that causes were similar regardless of NSAID use. In both groups, antibiotic regimens prior to hospital admission were appropriate less than half the time.
Among patients not treated with antibiotics prior to admission, bacteremia was more common in the NSAID group (69% vs. 27%, p = 0.009). NSAIDs were also linked to a higher rate of pleural empyema and lung cavitation (37.5% vs. 7%, p = 0.0009).
On multivariable analysis, NSAID exposure was the only independent predictor of pleuropulmonary complications (odds ratio 8.1), as it was for invasive disease in the absence of preadmission antibiotics (OR 3.8).
NSAIDs were also linked to significantly longer antimicrobial therapy and trends to longer stays in the ICU and in the hospital.
The authors point out that patients on NSAIDs didn't have higher rates of organ failure, greater need for organ support, or more severe systemic inflammation while in the ICU, nor did mortality differ between groups.
Nevertheless, they write, "These findings suggest that NSAID use at the early stage of community-acquired pneumonia can be associated with a less-effective compartmentalization of infection, but a blunted systemic response, which may result in delayed diagnosis and management, and a protracted course."
They suggest that the higher complication rate may have resulted from the longer delay to hospital referral.

Energy Drinks Pose Serious Health Risks for Young People

February 14, 2011 — A lack of research and regulation associated with energy drinks, combined with reports of toxicity and high consumption, may result in potentially dangerous health consequences in children, adolescents, and young adults, according to a review of scientific literature and Internet sources.
Sara M. Seifert, BS, and colleagues from the Department of Pediatrics and the Pediatric Integrative Medicine Program at the University of Miami, Leonard M. Miller School of Medicine in Florida, reported their findings in a report published online today and in the March print issue of Pediatrics.
According to the review, self-report surveys indicate that energy drinks are regularly consumed by 30% to 50% of children, adolescents, and young adults. The current trial questions the use of energy drinks in these young populations, as they provide no therapeutic benefit and are associated with risks for serious adverse health effects.
The authors note that because energy drinks are categorized as nutritional supplements, they avoid the limit of 71 mg caffeine per 12 fluid ounces that the US Food and Drug Administration has set for soda, as well as the safety testing and labeling that is required of pharmaceuticals. As a consequence, energy drinks can contain as much as 75 to 400 mg caffeine per container, with additional caffeine not included in the listed total often coming from additives such as guarana, kola nut, yerba mate, and cocoa.
"Of the 5448 US caffeine overdoses reported in 2007, 46% occurred in those younger than 19 years," the authors note.
One study included in the review, conducted in New Zealand, found that on average, all children, teenagers, and young men would exceed an adverse effect level of 3 mg/kg per day of caffeine after consuming a single retail unit of energy drink or energy shot in addition to baseline dietary exposure.
Advertising, Risky Behavior Compound Overdose Potential
The authors suggest that youth-aimed advertising of energy drinks and a tendency for risky behavior help compound the potential for caffeine overdose in young people. The authors recommend a maximum caffeine intake of 2.5 mg/kg per day for children and 100 mg/day for adolescents, although safe levels of consumption of other energy drink ingredients have not been established.
Although US poison centers have only recently begun tracking toxicity of energy drinks, Germany, Australia, and New Zealand have reported numerous adverse outcomes associated with energy drink consumption. These include liver damage, kidney failure, respiratory disorders, agitation, confusion, seizures, psychotic conditions, nausea, vomiting, abdominal pain, rhabdomyolysis, tachycardia, cardiac dysrhythmias, hypertension, myocardial infarction, heart failure, and death.
Despite these reports, there has been a lack of research into the physiological effects of individual energy drink ingredients. Drug interactions and dose-dependent effects remain largely unknown, although the current study reports that the ingredients 5-hydroxy tryptophan, vinpocetine, yohimbine, and ginseng have the potential for drug interactions that could result in adverse effects.
Seifert and colleagues also describe populations at highest risk for adverse health effects from energy drink consumption; these include children, adolescents, and young adults with cardiac conditions, attention-deficit hyperactivity disorder, eating disorders, and diabetes, and those taking other medications or consuming alcohol. The researchers also note that the caffeine in energy drinks may interfere with bone mineralization during a critical period of skeletal development.
"In the short-term, pediatric health care providers need to be aware of energy-drink consumption by children, adolescents, and young adults and the potentially dangerous consequences of inappropriate use," the authors conclude.
They add that more research is required to determine maximum safe doses, establish effects of long-term use, and better understand adverse health effects of energy drinks. In addition, pediatric healthcare providers should screen for consumption, especially in high-risk populations, and educate families about potential adverse outcomes. Furthermore, until the safety of energy drinks is ensured, appropriate regulation of sales and consumption should be put in place to protect minors, they suggest.
Dangers Go Beyond Excess Caffeine Consumption
According to independent commentator Dana M. Vieselmeyer, RD, LD, MPH, the special interest group chair of diabetes, wellness and weight management with the Pediatric Nutrition Practice Group of the American Dietetic Association, "this review highlights that consumption of energy drinks goes beyond the dangers of excess caffeine consumption, especially for children and adolescents, due to the supplemental additives these drinks contain and the unknown dangers of those in combination with caffeine and other medications. The fact that there is no known safe dose of any of those additives, or of caffeine, poses a risk."
"The long-term health consequences of regular energy drink consumption in children and adolescents is unknown, but what information we do have tells us that these drinks can have many harmful and potentially fatal effects," she told Medscape Medical News.
"Until further research is conducted, clinicians should make it standard practice to assess energy drink consumption when seeing their young patients, and also to educate the patient and families on the dangers of energy drink use, advising against its consumption," Vieselmeyer said.
"This review provides a good summation of the current body of knowledge regarding energy beverages," said John P. Higgins, MD, from the University of Texas Medical School at Houston, whose group also conducted a similar literature query on this topic.
"The marketing of energy beverages is targeting towards males in the preadolescent, adolescent, and young adult ages," Dr. Higgins told Medscape Medical News. "The fact that a child can walk into a grocery store or supermarket and buy these and consume [them] is frightening."
According to Dr. Higgins, as clinicians, it is "our daily duty to promote the health and well being of our patients while minimizing risk. The medical profession, in a global manner, needs to alert our patients to the dangers of these seemingly innocuous drinks and continue to advocate for strict control or overall removal."
This work was funded by the National Institutes of Health, the Health Resources and Services Administration, the Children's Cardiomyopathy Foundation, and the Women's Cancer Association. The authors and commentators have disclosed no relevant financial relationships.

Jumat, 11 Februari 2011

Seven Step to have Better and Healthy Skin

Anyway, having better and healthy skin is actually not as hard as you think as you might need to consult to any dermatologist so often and spending million rupiah. In fact, you can do it almost with the efforts from yourself, here are some tips that you know to understand how to get better solution for your skin.
1. Drink much water

True, water is essential to your skin. It hydrates and provides some nutrition and oxygen through it for optimum maintenance and cells growth. So if you want to have better skin, just do not forget to drink much water at least 2 lt or equal to 8 glasses per day.
2. Retinoid and certain antioxidants

This is a Vitamin A derivatives, usually retinoid sold in topical cream or even oral drug. Retinoid enhances the growth of the epithelial cells in skin, and improve the skin by unplugging pores and clearing acne. If you want to have retinoid for your skin, you can always consult and get it prescribed from any dermatologist doctor.
Certain antioxidants like Vitamin C, Vitamin E, and Selenium is easily got in many food on the following article:


Food for Your Skin


3. Stop smoking


Smoking has been known to provide some poison toxic substances to your body including your skin. Some research stated that people who smoke will likely to get the skin looked older than their actual age.
4. Sunblock

If you are exposed to the sun light everyday, you may need to protect your skin with sublock. Sun ray may contain UV that promotes your skin to be more darker and also UV will inflict some skin tumor. Make sure you choose the suitable sublock for your skin, if you have oily type skin and easily to het acne,  you may contact your doctor to have non-oil sunblock.
5. No need overmuch skin care product

Having too much skin care product for your skin may inflict some damage to it. You may choose any skin care properly or if it is necessary you could only have simple one. If you are really worried about your skin condition, you may try to contact any dermatologist to have better solution.
6. You skin needs certain time

After a proper treatment, you just can not hope for immediate effect. You need to wait for certain time to get your skin to improve itself.
7. Pick a better healthy lifestyle

Exercising your body, relaxing through yoga, reducing stress will also likely to give chance to your skin for improving itself.

Efek MSG pada Anak Anda

Mungkin sebagian besar dari Anda memiliki asumsi bahwa konsumsi MSG (Mono Sodium Glutama atau Vetsin) sangatlah buruk terhadap kesehatan terutama pada anak-anak. Sebagian mungkin mengatakan bahwa MSG ini dapat menyebabkan pembesaran amandel, kanker, dan lain-lainnya, namun apakah hal itu benar? Temukan jawabannya pada artikel ini.




MSG adalah hasil dari sintesis gula, dan pada kenyatannya di dunia ini MSG adalah zat penambah bahan makanan yang paling banyak digunakan di industri makanan. Mulai dari makanan ringan hinga bumbu-bumbu masakan yang Anda gunakan. Apakah Anda tidak menggunakan MSG pada makanan yang diberikan pada anak Anda? Apakah Anda yakin? Apakah Anda tahu bahwa di dalam sebungkus makanan ringan yang dikonsumsi oleh anak Anda mengandung MSG?

MSG termasuk zat adiktif di dalam makanan yang dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Bahkan pemerintah Jepang melalui departmen kesehatannya menyatakan tidak ada batas toksik dari penggunaan MSG ini. Namun telah dilaporkan beberapa waktu yang silam tentang adanya sindroma restoran cina akibat konsumsi berlebihan dari MSG, namun hal ini secara nyata belum bisa dibuktikan.

Adapun MSG dapat mempengaruhi kesehatan bila dikonsumsi berlebihan diantaranya adalah:

1. Asma

Bagi anak penderita Asma, MSG mampu memicu timbulnya serangan Asma pada anak Anda. Sebaiknya Anda benar-benar memperhatikan jumlah asupan MSG pada makanannya baik dari makanan utamanya maupun cemilannya.

2. Obesitas

Tidak dapat disangkal lagi kalau MSG membuat makanan Anda menjadi lebih nikmat, sehingga tentunya MSG ini dapat memicu nafsu makan pada anak Anda untuk menjadi lebih banyak lagi makannya dan dapat menyebabkan obesitas.

3. Alergi

Pada sebagian anak yang memiliki riwayat alergi, bisa saja anak Anda mengalami alergi setelah mengkonsumsi dari MSG. Bila hal ini terjadi, pastikan tidak ada MSG di dalam makanannya.

Ditulis oleh:
Mohammad Caesario
atas izin dari Dr. Andry Wibowo

Chocolate May Exacerbate Acne in Men

February 8, 2011 (New Orleans, Louisiana) — Bad news for chocolate lovers who are prone to acne — researchers report that the consumption of pure chocolate can exacerbate facial acne vulgaris within days in people who have a history of the skin disorder.
The finding runs counter to the results of earlier studies that reported no connection between chocolate and acne breakouts, said Samantha Block, a medical student at the University of Miami Miller School of Medicine, in Florida, who spoke here at the American Academy of Dermatology 69th Annual Meeting.
The studies that were fundamental to the notion that diet and acne are not related looked at acne outbreaks after the consumption of chocolate candy, which contains added ingredients such as milk, sugar, and nuts, Ms Block said.
"No studies were found in the literature assessing the effects of pure chocolate, made of 100% cocoa, on acne, so we set out to see what effect pure chocolate might have on acne exacerbation," she said.
The study involved 10 healthy male subjects between 18 and 35 years of age with a history of facial acne vulgaris. The subjects had at least 1 but no more than 4 total facial acneiform lesions (comedones and papules without pustules, nodules, or cysts) at study entry, and were not allowed to use any over-the-counter or prescribed medications.
"We limited our study to males because we didn't want any confounding influences of hormones that women might have around their menstrual cycle affecting our study," Ms. Block explained.
The subjects consumed 6 ounces of 100% Ghirardelli chocolate, which they washed down with a glass of water. They were instructed to maintain their usual diet for 1 week.
Lesion counts were assessed at baseline and on days 4 and 7.
The researchers found a statistically significant increase in the mean number of total acneiform lesions (comedones, papules, and pustules) on day 4 (P = .031) and on day 7 (P = .050), compared with baseline. There was also a trend toward increases in the mean number of noninflammatory comedones on days 4 (P = .058) and 7 (P = .067). There were no significant differences in the number of inflammatory lesions (papules and pustules) at any time point.
The study found a strong correlation between the amount of chocolate that was consumed and the amount of acneiform lesions that developed (r = 0.510 on day 4 and 0.608 on day 7).
Subjects also reported headache, nausea, gastrointestinal distress, vomiting, and diarrhea, Ms. Block noted.
"I think these results show that 100% chocolate does exacerbate acne in individuals who are acne prone," she told Medscape Medical News. "We are planning to continue this work and are recruiting patients for a randomized placebo-controlled trial."
She explained the reasons for choosing Ghirardelli chocolate. "We felt that if our subjects were going to eat chocolate, why don't we give them the best? Also, Ghirardelli makes a chocolate bar that is made with 100% pure cocoa. Not all the manufacturers have 100% chocolate."
"There is a possible mechanism here," F.W. (Bill) Danby, MD, a dermatologist in private practice in Manchester, New Hampshire, told Medscape Medical News after the presentation. "There are theobromines in chocolate. I have no idea whether Ghirardelli chocolate has more theobromines than other chocolate, but I get more headaches from Ghirardelli chocolate than I do from Hershey's, so I wonder about that as a mechanism. That should be quantitated and investigated further."
He added that the earlier work that found no link between chocolate consumption and acne was "fuzzy," but everyday evidence would indicate otherwise. "We all have patients who swear that their acne breakout was due to eating chocolate, so this may be a reason," he said.
Jonette Keri, MD, from the University of Miami Miller School of Medicine, told Medscape Medical News that this study adds another piece to the puzzle of what causes acne to flare up.
"We're getting closer and closer to figuring out how diet affects acne. I love this study because it's adding a piece to that puzzle, so I think it's important. I'm pleased that they are going to continue with a randomized trial," Dr. Keri, who moderated the session, said. She was not part of the study.
Ms. Block, Dr. Danby, and Dr. Keri have disclosed no relevant financial relationships.
American Academy of Dermatology (AAD) 69th Annual Meeting: Abstract 305. Presented February 6, 2011

Dietary Sodium a Risk Factor for Ischemic Stroke

February 9, 2011 (Los Angeles, California) — Sodium has already been linked to vascular disease, but a new study suggests that excessive intake may also heighten ischemic stroke risk.
"People who consumed more than 4000 mg per day of sodium had more than double the risk of stroke compared to those who consumed less than 1500 mg," lead investigator Hannah Gardener, ScD, an epidemiologist from the University of Miami Miller School of Medicine in Florida, told reporters attending a news conference here at the International Stroke Conference.
Dr. Hannah Gardener
"The data behind sodium consumption is pretty strong and persuasive," said American Stroke Association national spokesperson Larry Goldstein, MD.
The researchers looked at 2657 people from the multiethnic Northern Manhattan Study. Participants completed a food-frequency questionnaire, and investigators calculated total daily sodium intake by using DietSys software (National Cancer Institute).
During a mean follow-up of 9.7 years, 187 ischemic strokes occurred.
Investigators found that stroke risk, independent of hypertension, increased 16% for every 500 mg of sodium consumed a day.
Those numbers included adjustments for age, sex, race and ethnicity, education, alcohol use, exercise, daily caloric intake, smoking, diabetes, cholesterol, blood pressure, and previous heart disease.
Those consuming 4000 mg or more had a hazard ratio of 2.29 (95% confidence interval, 1.07 - 4.92).
The majority of the cohort, 88%, consumed more sodium than the American Heart Association recommendation of less than 1500 mg a day. US Dietary Guidelines allow for more sodium but still recommend that intake fall below 2300 mg, or about a teaspoon of salt per day.
The average intake was more than double that in the current study at 3031 mg, with a median of 2787 mg daily.
Previous work has suggested that salt consumption hasn't changed much in the United States over the past 50 years and remains too high.
"People need to read the labels of the food they are eating and see what the salt consumption is and at least try to reduce it toward the levels that are currently being recommended," said Dr. Goldstein, from the Duke Stroke Center, in Durham, North Carolina.
"It's clear that small changes in diet can make a huge difference in terms of stroke risk," Steven Greenberg, MD, vice chair of the International Stroke Conference Committee, said at the meeting.
"The evidence from our study may be used in campaigns aimed at reducing cardiovascular risk," Dr. Gardener said. "The new American Heart Association dietary goals will help promote cardiovascular and brain health."
This study was funded by the Javits award from the National Institute of Neurological Disorders and Stroke and the Evelyn McKnight Brain Institute. The researchers have disclosed no relevant financial relationships.
American Stroke Association International Stroke Conference. Abstract #25. News conference February 9, 2011

Kamis, 10 Februari 2011

Obstruksi Usus Pada Neonatus

Obstruksi usus pada neonatus mempunyai tempat tersendiri dalam penanganan obstruksi usus karena beberapa kondisi dapat merupakan suatu keadaan gawat darurat bedah yang paling sering pada neonatus dan menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang  cukup menjadi tantangan para dokter bedah anak. Disamping itu sifat neonatus yang sangat rentan terhadap perubahan homeostasis, temperatur juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Keberhasilan penanganan neonatus dengan obstruksi usus tergantung pada diagnosa yang cepat dan terapi segera. Oleh karena itu, diagnosa yang tepat dan penanganan yang cepat adalah mutlak pada pasien-pasien obstruksi usus pada neonatus. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pasien pediatrik dengan kondisi obstruksi usus pertama kali datang kepada dokter spesialis anak. Bila dokter tersebut cepat mengenali masalah bedah pada pasien tersebut maka ia akan segera merujuk pasien tersebut kepada dokter bedah bedah anak sehingga pasien bisa segera mendapat penanganan bedah. Sebaliknya bila dokter spesialis anak tersebut tidak mengenali masalah bedah pada pasien tersebut tentu akan terlambat  ia merujuk pasien ke dokter bedah / bedah anak dan akan terlambat pula penanganan bedah pasien ini dan mungkin berakhir dengan morbiditas atau bahkan kematian.
Obstruksi total pada anak merupakan salah satu bentuk akut abdomen yang memerlukan diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat. Angka insidensinya belum ada yang menjelaskan secara nominal tanpa melihat etiologinya, sedangkan berdasarkan etiologi adhesi didapatkan 10-15% dari seluruh obstruksi usus.  Angka kejadian obstruksi pada anak berdasarkan penyebabnya frequensi berbeda-beda berdasarkan keadaan atau penyakit yang mendasarinya , seperti yang sudah pernah dilaporkan fallat bahwa intususpsi merupakan penyebab obstruksi pada anak yang sering, keadaan lainnya seperti stenosis duodenum, hernia inkarserata juga dapat menyebabkan  obstruksi dengan frequensi yang lebih kecil, Anderson menyatakan bahwa intususepsi merupakan penyebab yang umum terjadi pada kasus bedah anak.
Keadaan obstruksi gastrointestinal ini dapat kita bagi dalam 3 kategori yaitu letak tinggi, medium dan rendah yang masingmasing memberikan gambaran yang khas. Penatalaksanaan obstruksi total pada prinsipnya adalah mengembalikan pasase usu agar jadi baik kembali meskipun tindakan bervariasi berdasarkan penyakit yang mendasarinya dan temuan durante operasinya, yang tidak melupakan sebelumnya untuk memperhatikan tiga stabilitas, agar outcomenya dapat memberikan hasil yang memuaskan .
Obstruksi total merupakan salah satu keadaan akut abdomen yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, diagnosis dapat dengan cepat dan tepat bila kita mengetahui gejala-gejala obstruksinya yaitu S (sakit) OK (kembung) M (muntah) A (abdominal sign) berdasarkan inspeksi palpasi perkusi dan auskultasi . (obstipasi)
Etiologi obstruksi berbagai sebab penyakit yang mendasarinya, prinsipnya ialah adanya gangguan pasase pada saluran gastrointestinal antara lain :
Gangguan gastric outlet (aplasia pylorus, atresia pylorus, stenosis pylorus dan stenosis pilorika hipertropi),
Pada duodenum (atresia duodenum, stenosis duodenum dan pankreas anular), mekoneum ileus, atresia ani, megacolon kongenital, invaginasi, hernia diafragmatika, adhesiva
Gambaran klinis pada obstruksi umumnya sama hanya ada beberapa sfesifitas tertentu berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Secara umum dapat dibagi gambaran klinis
Obstruksi letak tinggi, disini akan lebih dominan muntah ( yang bersifat frequen dan proyektil ) sedangkan pada pemeriksaan fisik kemungkinan akan didapatkan abdomen scapoid.
Obstruksi letak medium  dapat didapatkam muntah tetapi tidak frequen dan obstipasi yang gejalanya tidak saling dominan,
Obstruksi letak rendah akan lebih dominan obstipasinya dan gambaran abdomen yang khas yaitu distensi, darm contour dan darm staifung 
Cara mendiagnosis obstruksi dapat dengan mudah dikenali bila kita mengenali tanda-tanda obstrksi yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberpa etiologi untuk dapat dengan pasti kita harus memerlukan pemeriksaan penunjang mulai pemeriksaan laboratorium dan  pemeriksaan radiologi, contoh  untuk pemeriksaan penunjang akan bervariasi sesuari etiologi yang mendasarinya seperti SPH gambaran OMDnya stringsign(+), stenosis duodenum gambaran OMDnya double bubble (+) sedangkan pada atresia duodenum atau aplasi gaster single bubble (+). Pada invaginasi pada palpasi didpatkan sousage sign, dancing sign, pada hernia diafragmatika tampak gambaran usus pada rongga thorak (pada baby grama atau ro thoraks).
Penanganan obstuksi adalah dengan cara operatif  sesuai dengan kausanya, tindakan ini dapat berupa tindakan sementara yang kemudian akan dilakukan operasi definitif waktu selanjutnya atau satu kali tindakan operasi langsung tindakan definitf.

Tindakan operasi penyebab obstruksi total pada anak

Kausa obstruksi total Tindakan operasi
HIL Dextra Inkarserata Herniotomi
Megacolon Congenital Sigmoidostomi
Atresia Ani Transvesocoloctomi dextra
Invaginasi Laparotomi explorasi Milking
HIL sinistra Inkarserata Herniotomi
Stenosis Duodenum Shunt anastosmose  Duodeno duodenostomi
Atresia Duodenum Reseksi-anastosmose Duodeno-duodenostomi
Adhesive Laparotomi explorasi Adhesiolisis
Hernia Diafragmatika Laparotomi explorasi tutup defek
Post Boley Prosedure Laparotomi explorasi abdominal perineal pulltrough
Total Colon Aganglionik Ileostomi
Pankreas Anular Reseksi-anastosmosi Duodeno-duodenostomi

Penanganan etiologi tersebut diatas ada yang bersifat  sementara (untuk menjaga kelancaran pasase usus) yang selanjutnya akan dilakukan operasi definitif  dan pada kasus –kasus tertentu tindakan sudah langsung tindakan operatif definitif, ada 2 pasien yang meninggal sebelum dioperasi karena datang terlambat dan sepsis.

Etiologi

Penyebab obstruksi usus dapat berupa kelainan kongenital dan sering terjadi pada periode neonatal. Sebagai contoh atresia usus (atresia duodenum, jejuno-ileal, atresia rekti dan lain-lain), intestinal aganglionosis, mekonium ileus, atau duplikasi intestinal.
Penyebab / kelainan didapat (acquired) diantaranya intususepsi, obstruksi usus sebagai konsekuensi dari kelainan bawaan lain misalnya volvulus midgut karena adanya malrotasi, hernia inguinal lateral yang mengalami inkarserata atau sebagai konsekuensi dari inflamasi intra abdomen misalnya abses appendiks, striktur usus akibat NEC (Neonatal enterocolitis). Penyakit neoplastik dapat pula menyebabkan obstruksi usus. Limfoma maligna merupakan neoplasma maligna yang paling sering menyebabkan obstruksi usus halus dan polip usus merupakan neoplasma jinak  tersering sebagai penyebab obstruksi usus pada anak.
Akhir-akhir ini terdapat peningkatan insidensi karsinoma kolon pada anak dan tipe yang sering ditemukan adalah karsinoma jenis signet ring cell yang tingkat keganasannya sangat tinggi. Adhesi usus setelah tindakan laparotomi adalah kelainan didapat lainnya yang bisa menyebabkan obstruksi usus halus. Setiap anak yang pernah menjalani operasi laparotomi mempunyai risiko untuk terjadinya adhesi usus halus. Kira-kira 70% kejadian obstruksi disebabkan oleh adhesi tunggal
Di bawah ini adalah beberapa penyebab obstruksi usus pada pasien pediatrik.
Obstruksi setinggi gaster :
Volvulus gaster
Gastric outlet obstruction ( hypertropic pyloric stenosis, atresia pylorus, bezoar)

Obstruksi setinggi duodenum :
Intrinsik (Atresia duodenum,  web, stenosis)
Ekstrinsik /kompresi eksternal (pancreas anular, preduodenal portal vein)
Stenosis duodenum
Volvulus midgut pada malrotasi

Obstruksi setinggi jejenoileal :
atresia jejuno-ileal
adhesi
mekonium ileus
intususepsi
komplikasi dari divertikel Meckel

Obstruksi setinggi kolon rektum:
morbus Hirschsprung
atresia kolon, rektum
malformasi anorektal
meconium plug syndrome
mekonium ileus
karsinoma kolo-rektal

Klasifikasi

Tipe obstruksi terdiri dari obstruksi simpel dan strangulasi.  Obstruksi simpel terjadi bila salah satu ujung usus mengalami bendungan. Obstruksi ini dapat parsial maupun total. Bila pada segmen usus terbendung pada bagian proksimal dan distal maka kondisi ini disebut closed loop obstruction. Kondisi ini dapat terjadi pada herniasi loop usus melalui celah sempit seperti hernia inguinal indirek atau defek mesenterial atau pita adhesi (Adhesive band). Closed loop obstruction dapat terjadi pula pada kolon yang mengalami obstruksi pada bagian distal dimana katup ileosaekal masih intak.
Obstruksi usus strangulasi terjadi bila sirkulasi menuju segmen usus yang terbendung terganggu sehingga terjadi iskemi yang dapat berlanjut menjadi ganggren bila tidak segera dilakukan koreksi bedah. Volvulus dimana suplai darah mesenterial mengalami  puntiran adalah salah satu contoh obstruksi strangulasi yang jelas. Contoh lainnya adalah kondisi closed loop obstruction.

Diagnosis

Evaluasi diagnostik obstruksi usus harus cepat karena beberapa penyebab dapat  menimbulkan iskemi (obstruksi strangulasi) yang kemudian potensial untuk terjadi nekrosis dan gangren usus. Gejala kardinal obstruksi usus terdiri dari  muntah, distensi abdominal, nyeri abdomen yang bersifat kolik dan obstipasi.
Pada neonatus polihidramion maternal dan tidak keluarnya mekonium pada neonatus merupakan tanda kardinal lain yang penting. Gejala tersebut  dapat bermanifestasi dalam berbagai tingkat berat gejala. Kadang-kadang tanda dan gejala dapat tidak jelas dan tidak spesifik terutama pada neonatus. Kebanyakan  penyebab obstruksi usus dapat didiagnosa dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis sederhana
Muntah atau aspirat lambung dapat memberikan informasi yang penting bagi dokter anak / Bedah Anak dalam diagnosa kelainan gastrointestinal. Warna muntah yang tidak bersifat bilious bila dicurigai disebabkan kelainan bedah menggambarkan obstruksi diatas level ampula Vater.Muntah yang bersifat bilious tidak selalu disebabkan oleh obstruksi, tetapi bila ada kecurigaan obstruksi gejala tersebut menunjukan level obstruksi distal dari ampula Vater. Kira-kira 85% atresia jejunum memperlihatkan muntah bilious. Sebagai pegangan, anak yang mengalami muntah bilious harus dipertimbangkan adanya obsruksi usus sampai terbukti tidak

Pemeriksaan Fisik

Distensi abdomen yang terlokalisir pada epigastrium menggambarkan level obstruksi pada usus proksimal misalnya volvulus gaster, volvulus midgut, Hypertropic pyloric stenosis atau atresia duodenum. Sedangkan distensi abdomen menyeluruh menggambarkan level obstruksi yang lebih distal seperti atresia ileum, atresia kolon, morbus Hirschsprung dan lain lain.
Pada inspeksi kadang-kadang dapat terlihat kontur usus dengan atau tanpa terlihatnya peristaltik. Adanya parut bekas operasi pada abdomen dapat mengarahkan kita pada kecurigaan adhesi usus sebagai penyebab Inspeksi daerah inguinal atau perineal mungkin dapat menemukan adanya hernia atau malformasi anorektal sebagai penyebab.
Palpasi kadang dapat membantu diagnosa misalnya olive sign pada 62 % pasien dengan Hypertropic Pyloric Stenosis, massa pada intususepsi, infiltrat pada inflamasi intra abdomen, tumor intra abdomen dan lain-lain.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Rontgen
Foto polos abdomen datar dan tegak harus dibuat untuk mencari penyebab obstruksi. Pada anak yang sakit berat dan lemah dapat dilakukan foto left lateral decubitus sebagai pengganti posisi tegak. Pola distribusi gas abdomen dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi usus proksimal dan distal. Makin distal letak obstruksi, makin banyak jumlah loop usus yang distensi dan air fluid level akan tampak.


Foto kontras barium enema dapat memperlihatkan perbedaan antara distensi ileum dan kolon, melihat apakah kolon pernah terpakai atau tidak/ unused (mikrokolon) dan dapat pula mengevaluasi lokasi sekum untuk kemungkinan kelainan rotasi usus6. Pemeriksaan kontras oral mungkin bermanfaat pada kondisi obstruksi usus parsial. Tetapi pada kondisi obstruksi total pemeriksaan ini merupakan kontra indikasi6. Atresia duodenum  merupakan penyebab tersering obstruksi usus proksimal memperlihatkan gambaran spesifik double bubble dengan air fluid level tanpa udara di bagian distal
Pada atresia jejunum proksimal terlihat beberapa gelembung udara air-fluid level) dan pada bagian distal dari obstruksi tidak ada udara. . Semakin distal lokasi segmen atretik semakin banyak jumlah gelembung yang terlihat Jika ditemukan lebih banyak gelembung / loop usus berisi udara tetapi tidak terlihat udara di rektum, maka level obstruksi usus lebih distal. Malrotasi dengan volvulus midgut dapat memperlihatkan gambaran dilatasi lambung dan duodenum yang membesar, sedangkan usus halus terlihat berisi udara sedikit-sedikit yang tersebar (Scattered). Gambaran seperti paruh burung (bird’s beak sign) dapat terlihat pada barium enema.

Pemeriksaan Ultrasonogafi
Ultrasonografi dapat membantu  menegakkan diagnosa pasien dengan massa di abdominal. Pada Hypertropic Pyloric Stenosis USG merupakan gold standard untuk diagnostik dengan kriteria diagnosa diameter pilorus lebih dari 14 mm, kanal pylorus ≥ 16 mm dan tebal otot pylorus ≥ 4 mm5. Dengan USG intussusepsi ditegakkan bila terlihat target sign pada penampang melintang dan pseudokidney sign pada penampang longitudinal. USG dapat pula membantu menegakkan diagnosa obstruksi usus yang disebabkan tumor intra abdomen, atau proses inflamasi seperti abses apendiks yang menyebabkan obstruksi.  Pemeriksaan foto kontras barium (Upper GI) dapat memperlihatkan elongasi kanal pilorus dan indentasi garis antrum (shoulders sign )

Tatalaksana Obstruksi Usus
Tatalaksana Pra-Operasi
Secara umum tatalaksana awal pasien dengan obstruksi usus adalah mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau orogastrik dengan ukuran yang adekuat, pemberian antibiotik intravena. Termoregulasi, pencegahan terhadap hipotermi penting sekali pada pasien pediatrik khususnya pasien neonatus. Tidak boleh dilupakan untuk identifikasi kemungkinan adanya kelainan penyerta bila penyebab obstruksi adalah kelainan kongenital. Harus selalu diingat bahwa setiap kelainan kongenital dapat disertai kelainan kongenital lain (VACTER), sehingga perlu dicari karena mungkin memerlukan penanganan secara bersamaan. Perkiraan dehidrasi baik dari muntah atau sekuestrasi cairan akibat obstruksi usus perlu dihitung dan diganti. Dengan sedikit pengecualian, dehidrasi yang ditimbulkan obstruksi usus biasanya berupa dehidrasi isotonik, sehingga cairan pengganti yang ideal yang mirip cairan ekstraselular adalah Ringer asetat.

Tetapi pada Hypertropic Pyloric Stenosis karena dehidrasi yang terjadi bersifat hipokloremik dengan alkalosis hipokalemik sehingga bukan cairan ringer asetat yang dipakai melainkan cairan NaCl dengan tambahan KCl . Cairan yang keluar dari nasogastrik juga harus diganti dengan Ringer asetat atau NaCl sesuai volume9,11. Ringer asetat dipakai sebagai pengganti cairan yang bersifat bilious, sebaliknya bila cairan bening cairan NaCl digunakan sebagai pengganti.
Nasogastic tube (NGT) atau orogastrik tube(OGT) dengan ukuran yang adekuat sangat bermanfaat untuk dekompresi dan mencegah aspirasi. Orogastric tube lebih dipilih untuk pasien neonatus karena neonatus bernapas lebih dominan melalui lubang hidung. Dekompresi dengan NGT / OGT kadang dapat menolong dan menghindarkan pembedahan pada pasien obstruksi usus parsial karena adhesi pasca pembedahan.
Antibiotik intravena untuk bakteri-bakteri usus hampir selalu perlu diberikan pada pasien-pasien yang mengalami obstruksi usus. Antibiotik ini dapat bersifat profilaktif atau terapeutik bila lamanya obstruksi usus telah memungkinkan terjadinya translokasi flora usus.

Tatalaksana Bedah

Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus adalah tindakan pembedahan. Penanganan konservatif atau non-operatif dapat dilakukan pada beberapa penyebab seperti meconium ileus dan  adhesi usus pasca laparotomi dan intususepsi. Gastrografin enema digunakan sebagai penanganan nonoperatif pada meconium ileu9, sedangkan pada adhesi dengan obstruksi usus parsial dapat dicoba dekompresi konservatif. Tujuan utama penanganan ini adalah pembebasan obstruksi sebelum terjadi trauma iskemik usus. Jadi bila tidak tercapai perbaikan dalam 12 jam maka harus segera dilakukan tindakan pembedahan.  Pada intussusepsi reduksi hidrostatik dengan barium (fluoroscopy- guided) atau NaCl (USG-guided) patut dilakukan selama tidak terdapat kontraindikasi. Bila usaha tersebut gagal, pembedahan adalah jalan keluarnya. Tatalaksana bedah amat bervariasi tergantung kepada jenis penyebab obstruksi ususnya. Pada Hypertropic Pyloric Stenosis, pyloromyotomy merupakan tindakan bedah pilihan.
Pada obstruksi setinggi duodenum insisi transversal supraumbilikus memberikan akses terbaik untuk mencapai duodenum. Pilihan tindakan tergantung situasi anatomis intraoperatif. Pada obstruksi yang disebabkan oleh atresia atau pankreas annulare, duodeno-duodenostomi adalah pilihan tindakan bedah terbaik. Sebaiknya duodenojejenostomi tidak dilakukan karena dengan tehnik ini bagian distal duodenum dieksklusi dan dianggap prosedur yang tidak fisiologis. Sedangkan bila penyebab obstruksinya berupa duodenal web atau diafragma duodenum, duodenotomi vertikal dan eksisi dari web tersebut (septectomy) adalah pilihan terbaik. Pada saat eksisi webinjury pada ampula Vater. Tekanan ringan pada kantung empedu dilakukan untuk mengidentifikasi ampula Vater dengan melihat keluarnya cairan empedu. Bila eksisi komplit tidak memungkinkan, maka eksisi parsial dengan meninggalkan segmen bagian medial yang mengandung bagian terminal dari duktus koledokus. perlu diingat untuk menghindari

Setelah prosedur tersebut jangan lupa untuk menilai ulang kemungkinan adanya obstruksi tambahan lainnya dengan cara melewatkan kateter 8 fr ke proksimal dan distal. Bila telah yakin tidak ada obstruksi lainnya maka duodenotomi segera dijahit kembali15. Ladd’s procedure dikerjakan pada obstruksi duodenum yang disebabkan oleh Ladd’s band dengan cara memotong adhesinya, melepaskan adhesi antara usus dan peritoneum parietal dan antara usus dan usus, mobilisasi sekum dan menempatkan kolon pada abdomen kiri. Apendiks sebaiknya diangkat untuk menghindari kesulitan diagnosis apendisitis dikemudian hari.
Pada obstruksi jejunoileal insisi transversal supra umbilikal juga merupakan akses terpilih. Prosedur operatif tergantung pada temuan patologi, seperti tipe atresia, panjang usus, ada tidaknya perforasi usus, malrotasi dan volvulus, mekonium peritonitis, mekonium ileus. Dilakukan eksplorasi, bila terdapat perforasi seluruh rongga abdomen diirigasi dengan NaCl hangat, semua debris dibersihkan, adhesi dilepaskan dan sebisanya semua usus dieksteriorisasi. Inspeksi dilakukan mulai dari duodenum sampai sigmoid untuk mencari area atresia lainnya, ada tidaknya kelainan penyerta seperti malrotasi, atau mekonium ileus yang memerlukan koreksi pada saat bersamaan.
Prosedur operatif atresia jejunoileal pada umumnya adalah reseksi-anastomosis. Berdasarkan sejarah dan bukti-bukti eksperimental prosedur yang dianjurkan berkembang dari eksteriorisasi menjadi anastomesis side-to-side, kemudian end-to-end atau end-to-side, dan terakhir : reseksi segmen atretik proksimal yang dilatasi dan hipertofi  diikuti anastomosis end-to-end/ end-to-back dengan atau tanpa tailoring segmen proksimal. Perlu diingat bahwa segmen atresia proksimal yang berdilatasi dan hipertrofi dapat menyebabkan kembalinya fungsi peristaltik yang terlambat setelah koreksi anastomosis sehingga reseksi bulbus proksimal segmen atretik perlu dilakukan agar hasilnya memuaskan

Tatalaksana Pasca Operatif Obstruksi Usus

Meskipun laparotomi pada bayi atau anak memberikan stres yang signifikan kepada pasien, kebanyakan pasien berangsur membaik setelah koreksi bedah terhadap penyebab obstruksi ususnya. Pada periode pasca operatif awal, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, metabolisme glukosa dan gangguan respirasi biasa terjadi. Kebanyakan bayi yang menjalani operasi laparotomi biasanya mengalami sekuestrasi cairan ke rongga ketiga dan ini memerlukan tambahan jumlah cairan pada periode pasca operatif. Kebutuhan pemeliharaan disesuaikan dengan kondisi pasien. Semua kehilangan cairan tubuh harus diperhitungkan. Kehilangan cairan melalui muntah, NGT, ileostomi, atau jejenostomi harus diganti sesuai volume yang hilang. Swenson menyebutkan untuk berhati-hati dalam instruksi pasca operasi! Tidak ada istilah ‘rutin’ dalam intruksi pasca operasi terhadap bayi atau anak. Semua dosis obat, elektrolit atau cairan untuk terapi harus dikalkulasi secara individual dengan mempertimbangkan berat badan, umur atau kebutuhan metabolic
Dekompresi nasogastrik dengan ukuran yang adekuat sampai tercapai fungsi usus yang normal merupakan bantuan yang tak dapat dipungkiri dalam dekompresi bagian proksimal usus dan fasilitasi penyembuhan anastomosis usus. Ileus hampir selalu terjadi pada pasien pasca operasi dengan obstruksi usus. Pada atresia duodenum atau atresia jejunoileal misalnya, ileus yang memanjang dapat terjadi lebih dari 5 hari. Swenson menyebutkan pulihnya fungsi duodenum dapat lambat sekali bila duodenum sangat berdilatasi. Cairan berwarna hijau dapat keluar dari nasogastrik dalam periode waktu yang memanjang. Hal ini disebabkan bukan hanya karena edema di daerah anastomosis tetapi juga karena terganggunya peristaltik pada segmen duodenum proksimal yang mengalami dilatasi hebat15. Kesabaran yang tinggi sangat diperlukan sebelum memutuskan re-operasi pada bayi dengan ‘obstruksi’ anastomose, karena diskrepansi ukuran lumen atau disfungsi anastomosis yang bersifat sementara dapat menyebabkan ileus yang memanjang.
Permulaan asupan melalui oral dengan air gula / dextrose dapat dimulai bila drainase gaster mulai berkurang atau warnanya mulai kecoklatan atau jernih yang kemudian diikuti oleh susu formula (progestimil, isomil) secara bertahap. Bila program feeding tersebut tidak bisa diterima pasien atau terdapat ileus yang memanjang maka  nutrisi parenteral perlu dipertimbangkan dalam menjaga kecukupan asupan nutrisi pasca operasi.

Cold/Pilek Cold

DEFINISI

Pilek adalah infeksi virus pada alat pernapasan atas seperti hidung dan tenggorokan. Pilek biasanya menyakitkan meskipun rasanya tidak sakit. Biasanya orang yang memiliki pilek mengalami hidung yang basah, tenggorokan sakit dan batuk. Beberapa akan mengalami mata yang berair, bersin dan hidung yang tersumbat, atau bisa saja kesemuanya. Faktanya ada lebih dari 200 virus dapat menyebabkan pilek dan gejala yang terjadi bervariasi.

Kebanyakan orang dewasa terkena pilek dua atau empat kali setahun. Anak-anak khususnya pada masa pra sekolah dapat terkena pilek antara enam sampai sepuluh kali setahun. Kebanyakan orang sembuh dari pilek sekitar seminggu sampai dua minggu. Jika gejala tidak membaik sangat disarankan untuk menghubungi dokter anda.


GEJALA

Gejala pilek biasanya muncul sekitar satu atau tiga hari setelah terkena virus pilek. Tanda dan gejala yang dapat muncul adalah:
•    Hidung yang basah
•    Gatal dan sakit pada tenggorokan
•    Batuk
•    Hidung tersumbat
•    Sedikit sakit pada badan atau sakit kepala ringan
•    Bersin
•    Mata berair
•    Demam ringan (lebih dari 39 Celsius)
•    Sedikit kelelahan

Lendir pada hidung dapat menjadi tebal dan berwarna kuning atau hijau dan tentu saja mengalir keluar. Apa yang membuat pilek berbeda dari infeksi virus lain adalah umumnya anda tidak akan mengalami demam tinggi. Anda juga tidak akan mengalami kelelahan yang signifikan pada pilek.


Penyebab & Faktor Risiko

Penyebab

Ada lebih dari 200 virus dapat menyebabkan pilek. Rhinovirus adalah penyebab yang paling banyak dan virus ini yang paling banyak berjangkit. Virus pilek masuk ke tubuh anda melalui mulut atau hidung. Virus dapat menyebar lewat udara ketika seseorang yang sakit batuk, bersin atau bicara. Selain itu dapat juga menyebar melalui kontak tangan dengan seseorang yang sedang sakit atau pinjam meminjam sesuatu, seperti perlengkapan, handuk, mainan, atau telepon. Menyentuh mata, hidung atau mulut setelah melakukan kontak akan meningkatkan kemungkinan anda tertular pilek.

   
Faktor risiko
       
Virus pilek hampir selalu ada di lingkungan sekitar. Tetapi faktor-faktor berikut dapat meningkatkan kemungkinan terkena pilek:

•    Usia. Bayi dan anak-anak usia pra sekolah secara khusus rentan terhadap pilek karena mereka belum memiliki perkembangan ketahanan tubuh pada sebagian besar virus. Tetapi sistem imun yang belum matang bukan satu-satunya hal yang membuat anak-anak rentan. Mereka juga cenderung menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak lain dan sering tidak mencuci tangan secara benar dan menutup hidung dan mulut jika mereka batuk atau bersin.
•    Imunitas. Seiring usia imunitas berkembang terhadap virus yang menyebabkan pilek. Walau begitu anda tetap dapat mengalami pilek jika terkena virus pilek, memiliki reaksi alergi yang menyebabkan sesak atau memiliki sistem imun yang lemah. Semua faktor tersebut meningkatkan risiko terkena pilek.
•    Musim. Baik anak-anak ataupun orang dewasa lebih rentan terkena pilek pada musim gugur dan musim dingin. Itu karena banyak orang lebih suka menghabiskan waktu didalam ruangan. Pada tempat dimana tidak memiliki musim dingin, pilek lebih banyak terjadi pada musim hujan.


Pencegahan

Tidak ada vaksin yang dikembangkan untuk pilek, itu karena pilek dapat disebabkan oleh virus yang berbeda-beda. Tetapi anda dapat mengambil langkah-langkah antisipasi untuk memperlambat penyebaran virus pilek.
•    Cuci tangan anda. Bersihkan tangan secara teliti dan sering, dan ajari anak anda pentingnya mencuci tangan. Bawa sebotol pembersih tangan berbasis alkohol yang mengandung alkohol paling sedikit dengan kadar 60 persen dan gunakan untuk membersihkan tangan ketika air tidak tersedia.
•    Bersihkan peralatan anda. Jaga dapur dan kamar mandi tetap bersih khususnya ketika seorang anggota keluarga anda terkena pilek. Bersihkan mainan anak setelah bermain.
•    Gunakan tisu. Selalu gunakan tisu saat bersin dan batuk. Buang tisu yang telah digunakan kemudian cuci tangan secara benar. Ajari anak-anak untuk bersin atau batuk pada lekukan siku jika tidak ada tisu. Itulah cara melindungi mulut mereka tanpa menggunakan tangan.
•    Jangan berbagi. Jangan berbagi gelas minuman atau perlengkapan dengan anggota keluarga yang lain. Gunakan milik anda sendiri atau gelas sekali pakai ketika anda atau orang lain sakit. Beri label pada cangkir atau gelas dengan nama orang yang sedang pilek.
•    Jaga tetap jauh dari pilek. Hindari berdekatan atau kontak dengan waktu lama dengan seseorang yang terkena pilek.
(Diambil dari Kompas Health)

Cough Headache Cough Headache / sakit kepala karena batuk

DEFINISI

Sakit kepala karena batuk adalah tipe sakit kepala yang tidak biasa yang dipicu oleh batuk atau tegangan dengan tipe lain – seperti bersin, tertawa, menangis, bernyanyi, dan lainnya.

Dokter membagi sakit kepala karena batuk kedalam dua kategori. Yang pertama adalah kategori primer biasanya tidak berbahaya, terjadi dalam waktu yang singkat dan akhirnya sembuh dengan sendirinya. Kategori yang kedua lebih serius, yaitu kategori sekunder, yang disebabkan oleh masalah struktural pada otak, yang membutuhkan operasi untuk memperbaikinya.

GEJALA

Sakit kepala karena batuk kategori primer
•    Dimulai secara tiba-tiba dengan atau setelah batuk atau ketegangan lain.
•    Terjadi pada beberapa detik atau menit – beberapa dapat berakhir lebih dari 30 menit.
•    Memiliki rasa sakit yang tajam, menusuk atau seperti merobek.
•    Biasanya menyerang pada dua sisi kepala dan biasanya terjadi pada kepala bagian belakang.

Sakit kepala karena batuk kategori sekunder
Sakit kepala kategori ini sering memiliki gejala yang sama dengan kategori primer, Tapi kategori ini dapat terjadi lebih dari sekedar menit, bisa sampai beberapa hari.

Penyebab & Faktor Risiko

Penyebab
- Sakit kepala karena batuk kategori primer
Penyebab sakit kepala kategori primer ini tidak diketahui, beberapa ilmuan mengira bahwa yang menjadi penyebab adalah meningkatnya tekanan di dalam kepala (tekanan intracranial) yang disebabkan oleh batuk dan ketegangan lain yang berperan.

- Sakit kepala karena batuk kategori sekunder
Penyebab sakit kepala kategori sekunder ini hampir selalu berasal dari otak bagian belakang atau di dasar tengkorak, dimana otak dan tulang belakang berhubungan, seperti:
•    Kerusakan pada kerangka
•    Kerusakan pada susunan cerebellum. Beberapa tipe dari kerusakan ini disebut chiari malformation.
•    Tumor otak

Faktor risiko
       
Sakit kepala karena batuk kategori primer
•    Berusia 40 tahun ke atas
•    Laki-laki

Sakit kepala karena batuk kategori sekunder
•    Berusia dibawah 40 tahun


Pencegahan

Mencegah pemicu sakit kepala karena batuk dapat mengurangi jumlah sakit kepala anda. Beberapa tindakan pencegahan adalah:
•    Mengalami infeksi paru-paru, seperti bronchitis
•    Menggunakan penekan batuk yang diperlukan
•    Mengambil vaksinasi flu tahunan
•    Gunakan bangku yang lembut untuk manghindari konstipasi
•    Kurangi mengangkat benda bera
(Diambil dari Kompas Health.com)